MILO88 – Refleksi 29 Tahun Otonomi Daerah: Evaluasi Dua Sisi untuk Kesejahteraan Rakyat

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya saat konferensi pers di Kantor Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (22/4/2025).

Lihat Foto

Balikpapan, Kalimantan Timur, menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan otonomi daerah di Indonesia.

Mengusung semangat “Jas Merah” sebagaimana dipesankan Presiden Soekarno, otonomi daerah bukan sekadar pendelegasian wewenang, tetapi amanah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan.

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menuturkan, otonomi daerah harus terus dievaluasi dari dua sisi: pemerintah daerah yang adaptif dan inovatif, serta pemerintah pusat yang konsisten melakukan sinkronisasi, akselerasi, dan sinergi.

Data dan fakta menunjukkan, banyak daerah di Indonesia telah mencatatkan capaian impresif melalui kapasitas fiskal yang menguat dan keberhasilan dalam pelayanan publik menjadi bukti keberhasilan otonomi daerah.

Namun, tidak dapat dimungkiri, masih ada daerah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang lemah dan alokasi yang belum sepenuhnya berpihak pada kebutuhan rakyat.

Setelah 29 tahun, ini adalah saat yang tepat untuk melakukan muhasabah, mengevaluasi capaian, dan mengidentifikasi tantangan.

Bima menekankan, evaluasi harus dilakukan secara holistik. Kepala daerah juga harus beradaptasi dengan kepemimpinan yang inovatif, kolaboratif, dan membangun ekosistem ekonomi kreatif sebagai mesin pertumbuhan baru.

Pentaheliks, kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat, dan media, menjadi kunci untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah.

Di sisi lain, pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri, memiliki tanggung jawab untuk terus melakukan pembinaan, pengawasan, dan sinkronisasi kebijakan agar otonomi daerah berjalan maksimal dalam kerangka negara kesatuan.

Bima menuturkan, otonomi daerah telah melahirkan pemimpin-pemimpin hebat, mulai dari gubernur, wali kota, hingga bupati, yang tidak hanya memajukan daerah, tetapi juga berkontribusi di tingkat nasional.

Fenomena regenerasi ini, di mana pemimpin daerah naik ke pusat, menjadi berkah bagi pembangunan nasional.

Namun, tantangan seperti tumpang tindih regulasi, lemahnya meritokrasi, dan rendahnya kapasitas sumber daya manusia masih membayangi sejumlah daerah.

Bima juga mengingatkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia bukan federasi, melainkan negara kesatuan.

Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri memiliki peran strategis dalam melakukan supervisi untuk memastikan pemerintahan daerah berjalan efektif.

“Semakin rendah kinerja kepala daerah, semakin ketat evaluasi yang dilakukan. Sebaliknya, semakin baik kinerja, semakin luas ruang otonomi yang diberikan,” ujarnya.